Penyair layaknya menulis puisi berdasarkan pengalaman yang mengkristal. Bisa jadi pengalaman ini menjadi lahan yang tak pernah kering. Selain itu, pengalaman yang mengkristal tersebut akan menjadi bahan tulisan yang sangat menarik.
Jasmani dan rohani penyair yang berolah pikir dan berolah rasa secara intensif dalam mengolah pengalaman tentu dapat menghasilkan karya tulis kreatif puisi yang bukan “puisi instan”. Proses penciptaannyalah yang membuat puisi ini akan terperosok sekadar menjadi “puisi instan” atau bukan.
Analogi dari “puisi instan” adalah “makanan instan”, misalnya mie instan.
Dengan cukup memasak air dua-tiga gelas, menyiapkan telor ayam atau bebek, merobek bungkus mie instan, memisahkan bumbu dan cabenya, lalu tunggu sebentar! Air yang mendidih dalam beberapa menit kita tuangi telor! Bumbu dan cabe kita tuangkan ke dalam mangkok atau piring. Mie dan telur yang sudah matang kita tuangkan ke dalam piring! Kita aduk-aduk hingga merata dengan sendok atau garpu! Jadilah mie goreng atau rebus siap saji!
Kita tak perlu membuat bumbu. Kita juga tak perlu menggerus atau menguleg cabe. Kita tak perlu membuat mie. Kita tak perlu membuat telor. Semua bahan sudah ada. Hingga akhirnya dengan waktu yang cepat kita dapat membuat mie goreng atau mie rebus sesuai dengan selera kita. Tak memerlukan waktu yang lama. Selain itu, enak memang di lidah.
Akan tetapi, jika ini dibiasakan dan menjadi ketagihan, sedikit demi sedikit kita telah menabung penyakit. Karena kita tak ingin bersusah payah dengan mengikuti proses yang alamiah dan ilmiah, kita menjadi pemalas hingga kita rentan dirundung berbagai jenis penyakit. Ini tentu tidak memberikan manfaat untuk jangka panjang.
Demikian pula halnya jika kita menulis puisi secara instan. Kita mengabaikan pengendapan. Dampaknya kita tak akan menghasilkan puisi yang terstandar, baik dari unsur intrinsiknya maupun ekstrinsiknya. Padahal, kita memiliki niat ingin menulis puisi yang selalu dibaca, dinikmati, dan dikenang sepanjang waktu oleh siapa pun yang menaruh perhatian terhadap dunia literasi terutama karya sastra.
Proses pengendapan layaknya berhubungan dengan tahapan menyunting.Berkaitan dengan tahapan menyunting ini, Rose (2002: 134) mengatakan bahwa rahasia menulis super adalah menulis secara cepat dan fasih untuk menyelesaikan draf cepat pertama. Setelah itu, kita boleh mengoreksi dan menyunting tulisan setelah melalui masa inkubasi atau pengendapan. Sedangkan menurut Golberg (2005: 59), ketika berlatih menulis, kita perlu memisahkan si pencipta dengan si editor atau sensor batin, sehingga si pencipta memiliki ruang yang bebas untuk bernafas, menjelajah, dan berekspresi.
Jika kita mempelajari proses kreatif para penyair pendahulu, kita akan menemukan proses panjang lahirnya puisi yang monumental. Puisi “Rakyat” yang sangat terkenal itu, misalnya, yang ditulis oleh penyair Hartojo Andangdjaja, tidak lahir serta-merta dan tanpa melalui proses penciptaan yang panjang dan mendebarkan. Waktu penyelesaian penciptaannya tak hanya sehari, apalagi sejam.
Waktu untuk menyelesaikan penulisan puisi “Rakyat” ternyata juga tidak hanya sebulan, tetapi berbulan-bulan. Bahkan lebih dari setahun jika dihitung sejak ide menulis puisi tersebut menguasai pikiran penyairnya pada bulan-bulan terakhir tahun 1959 hingga penyelesaian penulisan puisi dan pemberian judulnya pada Februari 1961. Ini setelah penyairnya mengalami berbagai peristiwa yang melibatkan jiwa dan raganya. Sebuah kreativitas yang dirajut dengan konsistensi dan komitmen yang tiada terkira. Pengakuan Hartojo Andangdjaja ini dapat kita baca melalui buku Dari Sunyi ke Bunyi: Kumpulan Esai tentang Puisi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, halaman 139-148).
Ini lain lagi dengan pengakuan penyair Abdul Hadi W.M. Dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (Editor Pamusuk Eneste, Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 192), penyair yang terkenal dengan puisi “Madura” ini mengatakan demikian: “Mengenai proses kreatif sajak-sajak saya, liku-likunya banyak. Ada sajak yang saya tulis dua sampai tiga kali, lantas jadi. Ada yang mengalami proses penulisan sepuluh, dua puluh, tiga puluh kali, dan seterusnya. Sebuah kenangan ada yang baru saya tulis jadi sajak beberapa tahun kemudian. Ada sajak yang saya tulis di hotel, dalam perjalanan, di pesawat terbang, di rumah teman, dan di mana saja – asal momen kreatif sedang merebut diri saya”.
Penyair Amerika, Amy Lawrence Lowell, yang pernah memperoleh penghargaan Pulitzer Prize for Poetry mengatakan bahwa sajak-sajak yang panjang mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan dalam persiapan bawah sadar. Dalam hal sajak-sajak yang pendek masa persiapan bawah sadar mungkin memerlukan waktu sehari atau beberapa saat saja, atau setiap jangka waktu di antara keduanya itu (“Proses Pembikinan Puisi” dalam Proses Kreatif, editor Profesor Brewster Ghiselin, terjemahan Wasid Soewarto, Jakarta: Gunung Jati, halaman 236).
Sebagai bahan pembelajaran, layaknya kita dapat mengambil atau memetik pengalaman tiga penyair tersebut dalam menulis puisi. Menulis puisi yang bagus itu tidak semudah membalik telapak tangan. Agar puisi yang kita tulis tidak terperosok menjadi “puisi instan” – yang terasa nikmat sesaat dan setelah itu kita lupakan – sebaiknya kita melakukan proses pengendapan dalam menulis puisi.
Posting Komentar